Saya pernah ke New York yang disebut-sebut oleh penduduk dunia dengan julukan the city that never sleep. Kota ini selalu menyimpan kesibukannya, orang-orang yang mencari hiburan, mengejar perbendaharaan, dikejar tenggat waktu yang tak kenal tapal. Tapi toh, saya menjumpai waktu-waktu lengang di the big apple city ini.
Saya juga pernah ke Jepang, yang juga disebut-sebut manusia sebagai negara yang tak kenal lelah, wabil khusus Tokyo yang nyaris tak memiliki jam kerja. Kita selalu bisa menjumpai lampu-lampu yang menyala di bilik-bilik gedung yang tinggi sebagai tanda selalu ada orang-orang yang mengejar pencapaiannya. Perempatan jalan yang selalu riuh ketika lampu berwarna merah dan tanda pejalan kaki beroperasi dengan sempurna. You named it, jam berapa, hari apa, Tokyo selalu berdetak jantungnya. Tapi saya juga menjumpai, ada detik-detik panjang yang sepi di beberapa bagian kota ini.
Saya juga pernah menginjakkan kaki di London, ibukota Inggris Raya yang masuk sebagai kota-kota besar di dunia. Hiburan, pekerjaan, kesibukan tak pernah absen di kota yang telah tua ini. London telah menjadi saksi tentang sejarah betapa sibuknya manusia. Tapi, sekali lagi, ada kalanya kota ini menghela napas panjang dari berbagai kepenatan.
Hari ini, untuk kesekian kalinya saya menginjakkan kaki di tanah haram, Makkah al Mukaramah, kota suci ini benar-benar tak kenal jeda. Khususnya waktu-waktu seperti ini, ketika Ramadhan tiba. Di seluruh sudut kota, di sepanjang jalan yang meruasinya, selalu ada manusia. Bukan dalam hitungan puluhan atau ratusan, juga bukan dalam hitungan puluhan ribu atau ratusan ribu, tapi berjuta-juta manusia dari seluruh belahan dunia. Hitam, putih, tinggi,pendek, gemuk, kurus, tua, muda, lelaki dan perempuan, termasuk juga yang kaya dan papah.
Selalu ada transaksi di kota ini. Antara manusia dengan manusia, membeli barang atau menjual jasa. Dini hari atau tengah malam, sore hari atau di awal pagi. Siang dan malam seolah sudah bukan lagi penanda waktu untuk menentukan kegiatan. Tapi yang paling menakjubkan adalah, proses transaksi antara makhluk dengan Tuhan. Di tanah ini, seluruh manusia yang hadir sedang melakukan transaksi, menjual dirinya, menghambakan dirinya demi sebuah tebusan besar, ridha Tuhan yang Maha.
Siang atau malam, pagi dan juga petang, panas terik yang menghunjam, atau dingin dan hujan, tak pernah memberi perbedaan. Selalu ada manusia-manusia yang melakukan ibadah. Memuji dan memuja. Menangis dan merintih dengan nada taubat, meneteskan airmata atau memancarkan tatapan haru penuh bahagia.
Itu yang ingin saya ceritakan. Bukan tentang kota-kota yang dipenuhi manusia yang haus hiburan, atau jiwa-jiwa yang tak kenal lelah mengejar sesuatu yang akan kian membuatnya dahaga: dunia!
Saya melihat, orang-orang yang berjalan Thawaf mengitari Ka'bah, bermacam rupa mereka. Ada yang berjalan dengan cepat dan gagah, peluhnya membasahi bahu, bahkan sekujur tubuh. Langkahnya ringan, kuat, membaca kalimat-kalimat doa dengan pasti. Tapi ada juga yang bertubuh besar sekali, langkahnya berat, napasnya lebih berat lagi.
Sekujur tubuhnya mengucurkan peluh, tapi matanya memancarkan semangat untuk menuntaskan satu lagi putaran thawaf yang diperintahkan Rabbul Izzati. Sangat berat langkahnya. Seolah satu angkatan kaki adalah siksaan yang sempurna. Namun demikian, satu per satu langkah diselesaikannya juga.
Ada yang cantik atau tampan, memakai kacamata hitam atau berpayung terang. Baju ihram mereka putih, bersih, bagus dan mungkin mahal. Tapi ada juga yang benar-benar bertolak belakang. Tubuhnya kurus, rambutnya kusam, tulang punggungnya pun tak tegak, pakaian ihramnya selembar kain putih yang nyaris telah berubah warna.
Sungguh mengagumkan, keduanya melakukan perintah yang sama, berdoa dan mengagungkan nama Tuhannya. Mereka datang tidak digerakkan oleh materi, apalagi bendahara duniawi. Sungguh ajaib, mereka datang tidak untuk bersenang-senang, mereka datang untuk bersusah-susah dengan dana yang dikeluarkan sendiri, dan itu sama sekali tidak terhitung ringan.
Subhanallah, apa yang membuat berjuta-juta manusia ini datang kemari? Jika bukan karena seruan iman, jika tidak karena cinta pada yang Maha Tinggi, rasanya tak mungkin, hati, kaki dan tangan berjuta-juta manusia ini bergerak kemari.
Pantas saja Ibrahim pernah ragu ketika diperintah untuk menyeru. Dengan apa aku menyeru manusia, demikian tanyanya. Sesungguhnya bukan Ibrahim yang menyeru, tapi Tuhan yang telah menggerakkan hati dan menanamkan cinta dalam diri manusia pada tanah yang Mulia ini.
Di lorong besar, yang menghubungkan Shafa dan Marwa, saya menyaksikan pemandangan yang menggetarkan hati. Seorang laki-laki, terduduk di lantai untuk mempersiapkan diri menuntaskan sai berittiba pada keluarga Ibrahim yang tak putus asa pada rahmat Ilahi. Dia, laki-laki itu, sedang mengencangkan kakinya yang sebelah kiri. Kaki palsu itu, diikatnya kuat-kuat. Diperiksanya seluruh sudut dan kunci. Mungkin dalam hati ia sambil berkata, "Hari ini kau harus kuat, mengantar aku berlari untuk Sai. Bismillahi."
Dihentak-hentakkannya kaki plastik itu di lantai. Lalu senyum gembira nampak sekali di sudut sinar matanya. Kaki palsu itu, kelak akan bersaksi, telah diikat dengan kuat untuk mengantarnya berlari mencari dan mengejar ridha Tuhan yang Maha Tinggi.
Dari tempat saya berdiri, saya mengantarkannya dengan pandangan yang telah kabur oleh genangan airmata. Dada saya seolah-olah ikut meloncat-loncat dengan kakinya. Lalu saya mengangkat tangan dan berdoa, untuk lelaki yang tak pernah saya kenal nama dan asalnya. "Allahu yardha alaik, Allahuma barik fiik, insya Allah. Berkahilah hidupnya ya Allah dan hamparkanlah ridha-Mu untuknya ya Tuhan yang Maha Mengabulkan doa."
Anda harus ke sini, menyaksikan sendiri dan saya berdoa agar Allah memberi kesempatan pada saya dan Anda untuk selalu mampu mengunjungi tanah yang suci ini.
Anda harus melihat sendiri, betapa ketika menjelang waktu berbuka tiba manusia-manusia ajaib ini berlomba untuk saling memberi. Yang mampu akan memberikan bermacam makanan, tentu yang paling populer adalah Kurma yang penuh berkah. Ada yang membagikan Laban untuk berbuka, roti gandum yang jumlahnya tak terhingga, Gohwa dan Say Ahmar atau the merah yang beraroma mint pembangkit selera.
Bagi yang kurang mampu, agama ini tak pernah kekurangan ruang untuk memberi ruang kepada mereka dalam berbuat kebaikan. Ada yang membeli tissu pengusap peluh yang dibagikan kepada mereka yang mau. Bahkan ada yang hanya menampung air Zam-Zam, mengambil gelas-gelas putih lalu membagikan kepada mereka yang Sai dan tak sempat mengantri. Ada lagi yang lebih menakjubkan, yakni orang-orang yang mengumpulkan kurma pemberian, lalu dibagikan kembali pada orang-orang yang belum mendapatkan.
Duhai, manusia apakah mereka ini? Apa yang menggerakn hatinya? Siapa yang membuat mereka sedemikian rupa? Mereka adalah kaum Muslimin. Dan mereka digerakkan oleh iman. Tentu saja yang menggerakan adalah Dzat yang memiliki nama ar Rahman.
Terkagum-kagum saya, terpana betul di Baitul Haram. Perbedaan-perbedaan kecil ditinggalkan, semua memfokuskan diri dan berporos pada ridha Allah yang Maha Tinggi. Akhlak mengutama saudara menghiasi seluruh perilaku mereka. Mereka bergerak sendiri, tidak diorganisasi oleh negara, apalagi pemerintah tempat kekuasaan hanya mengantarkan pada perpecahan.
Terakhir, saya ingin menceritakan bagian yang paling favorit. Air Zam Zam, satu dari sekian rahmat Allah yang Maha Tinggi. Selepas Thawaf, mereka yang mengelilingi Ka'bah di siang hari mengguyur kepala dan tubuhnya sampai basah. Mereka yang bersa'i, juga mengguyur tubuh mereka di sepanjang jarak antara shafa dan marwa yang penuh berkah.
Ada yang membasahi kain ihramnya, ada yang menyiram jilbabnya, ada yang meletakkan gelas di atas kepala dan dikucur sedikit demi sedikit sambil menuju Shafa atau Marwa. Yang model satu ini, sering membuat lantai basah. Dan petugas bersih-bersih hanya bisa menggelengkan kepala. Berjuta ragam perilaku manusia.
Ada yang mengusapkan air zam zam di kakinya, agar kuat dan sehat. Ada yang menggusap kepalanya dengan doa pintar dan cerdas. Ada yang membasahi dadanya dan berdoa untuk lapang dan ikhlas. Air ini, kata Rasulullah tergantung yang meminumnya. Dan air ini sudah menyentuh hampir seluruh penjuru dunia.
Bayangkan, dari Mekkah mereka dibawa negeri masing-masing tempat asalnya. Benghazi, Tripoli, Timbuktu sampai Tunisia. Kazakhstan, Dagestan,sampai wilayah Eropa Timur lainnya. Indonesia mungkin adalah negeri yang banyak membawa pulang air Zam Zam yang diberkati.
Sesampai di Indonesia, air ini menyebar lagi sampai ke pelosok yang paling jauh yang pernah terbayangkan oleh kita. Dari Aceh hingga Papua, dari Mianggas sampai pulau terluar yang dimiliki negeri kita. Dan air ini, insya Allah tidak akan ada habisnya. Duhai manusia, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan? Mari bersegera menuju Allah yang senantiasa bergembira melihat hamba-Nya yang bertaubat dan merindukan rumah-Nya. Saya berdoa untuk Anda semua semoga Allah membuat mampu kita pergi ke Baitullah. Dan Insya Allah, Dia yang Maha Rahman akan membuat kita memiliki kemampuan. Karena Dia senang melihat hamba-hamba-Nya yang merindukan perjumpaan.
Pertanyaannya sekarang, sebesar apa kemauan kita, sehingga Allah menganugerahi kemampuan? Selamat meluruskan niat dan memperbesar keinginan. Allahu Akbar!
Oleh : Herry Nurdi
Post a Comment